Saturday, February 10, 2007

Parahkah Inferiority Complex Wong Wonogiri ?

Dikirimkan : Jumat, 9 Februari 2007


Obrolan sana sini dari Wonogiri dengan Mas Broto dan Mas Sidik Sutikno , juga Warga WNA Di Mana pun Anda Berada.


Salam sejahtera. Terima kasih Mas Broto dan Mas Sidik untuk email Anda. Isinya menarik, dan bagi saya rasanya Internet itu terus saja memberikan keajaiban. Termasuk kini, saya bisa mengenal Anda. Walau secara formal memang belum, tetapi karena kita punya sesuatu ikatan, yaitu terkait asal muasal yang sama, juga riwayat hidup yang sebenarnya sudah saling bersinggungan, maka beda jarak km atau pun waktu antara kita sepertinya sudah menjadi nol.

Internet merupakan sarana ampuh untuk melakukan regrouping semacam itu. Ibaratnya kita bisa mendirikan lagi jiwa dan kota Wonogiri, di dunia maya, di mana akses masuknya kini relatif lebih sedikit handicapnya dibanding dunia yang fisik. Dengan kemampuan dan kecakapan yang masih terbatas, saya ingin menuju ke arah cita-cita itu.

Menurut saya sih, banyak Wong Wonogiri (WW) yang pantas menjadi teladan dan bisa dibanggakan. Tetapi cerita tentang sukses itu tersebar-sebar, tidak pula dicatat dengan baik, dan sulit untuk ditemukan lagi. Nah kini, dengan hadirnya Internet, bisa menjadi solusi itu.

Saya usulkan, agar Mas Broto dan Mas Sidik dkk, bikin blog. Apa sudah ? Engga ada guru tata bahasa atau polisi yang bakal memberi penalti, dengan blog kita bisa menulis sesuka kita. Jadi bila orang nanti mengetikkan “Wonogiri” di Google, akan muncul data-data yang riuh, warna-warni, tentang Wonogiri.

Upaya di atas, hemat saya, termasuk sebagai salah satu upaya mengikis belitan inferiority feeling dalam diri Wong Wonogiri (WW), di mana contoh aktual dan jenialnya telah diilustrasikan oleh Mas Sidik. Cerita yang menarik, lucu, karena kita bisa sekaligus menertawakan diri kita sendiri.

Mari kita kikis rasa minder itu. Sebab di dunia digital, Wonogiri hanya dipisahkan oleh klik dan klik dari Waterloo, Wamena, Walikukun, Wiesbaden, Wichita atau pun Wisconsin. Michael Jackson dkk kan pernah bilang, “we are the world...”

Perasaan minder sebagai Wong Wonogiri (WW), mungkin karena masalah kepraktisan dan ekonomi bahasa. Orang nyebut “Solo” (2 suku kata) itu lebih hemat dibanding menyebut “Wonogiri” (4 suku kata). Mungkin juga lebih merdu ? Apalagi abjad “S” itu lebih dulu urutannya dibanding abjad “W,” bukan ?

Mungkin si orang minder bersangkutan memang canggih dalam ilmu geografi, sejarah dan kuat memorinya. Coba, bila mas konsultan WW yang ditemui Mas Sidik di Batam itu “nekad” terus mengaku sebagai Wong Solo, lalu di-dedes sana-sini secara detil tentang area kota Solo atau penduduknya, pasti ia punya kemahiran menguasai geografi kota Solo untuk mempertahankan status asalnya.

Kalau engga mampu, ya ia kita beri gelar saja sebagai ahli geo-glagepan...Suatu saat, topik ini akan saya coba tulis di blog The Morning Walker (http://wonogirinews24.blogspot.com) mendatang.

Mas Broto,
Koreksi Anda tentang SMPN 3 saya terima. Tetapi sekolah yang sederet dengan SMP Kanisius di Kajen itu, kini jadi kantor Dinas Pendidikan. Jadi SMPN 3 ya persis saya tulis di blog saya itu, di Sukorejo atau Jetis itu. Keponakan saya sekolahnya di sana.

Tentang Bu Harni yang guru geografi (di SMAN 1 apa beliau disebut sebagai Ibu Sukiyo ?), masih sehat. Masih ada hubungan famili sih, dari ibu saya, yang sama-sama asli Sukoharjo. Tetapi suami beliau, Pak Sukiyo, telah sedo. Email putranya, Mas Anto (ekoharys@yahoo.com) yang kini bekerja di Air Mancur, Solo.

Pak Nirsatmo ? Maaf, saya tidak tahu beliau. Kebetulan saya tidak bersekolah tingkat SMA di Wonogiri. Rumah saya, Kantor Penerangan (kini Dinas pasar), ke timur melewati dua perempatan, lalu 3 rumah, selatan jalan. Tanya rumahnya Basnendar (basnendart@yahoo.com, walau ia kini tinggal di Solo dan lagi sekolah di ITB), banyak orang akan lebih tahu dibanding menanyakan nama saya.

Semoga obrolan ini bermanfaat bagi Mas Broto. Di Jakarta, semoga engga ikutan kena banjir. Kalau sempat ikut nonton wayang di UI, saya dibocorin cerita atau foto-fotonya, ya ? Terima kasih.


Mas Sidik,
Maaf, Anda sekarang ada di kota mana ? Apa masih di Batam ? Broto Happy W. (brotohappy@yahoo.com), bolak-balik ke Batam. Ia kini tinggal di Bogor. Masih di Tabloid BOLA. Kalau ia kencing, maka Jakarta pun banjir.

Sungguh menarik membaca cerita tentang karir mengkartun Anda. Saya iri lho sama orang yang bisa bikin kartun. Seisi rumah Kajen, walau kadang punya gagasan yang kira-kira lucu, tetapi hanya saya sendiri yang engga bisa bikin kartun. Yo wislah. Apa aktivitas mengartun Anda masih bisa dibangkitkan lagi ? Karya Mas Sidik pernah muncul di Bola, pasti sudah termasuk kelas kartun yang berbobot. Mengenai Persiwi, maaf, saya tidak tahu di mana posisinya sekarang.

Oklah, sekian dulu kabar dan balasan saya dari Wonogiri.
Sukses selalu, karena slogan kota kita memang “Wonogiri Sukses.”

Salam saya,


Bambang Haryanto

PS : Beberapa saat lalu saya kirim obrolan ke boss Pakari (Mas Sarnen Sujarwadi) dan kawan-kawan, yang bersemangat membangun citra Wonogiri. Pakari adalah salah satu pilar pendukung acara wayangan dan pasar malam WW di UI, 17/2/2007 mendatang. Email itu saya sertakan ya ? Moga berguna.

Ngumpulke Balung Pisah Wonogiri Di Dunia Maya

Dikirimkan : Sabtu, 3 Februari 2007



Dengan hormat dan salam sejahtera,

Terima kasih, mas Bambang Setiawan, karena obrolan kita yang lalu bisa Mas ewer-ewer hingga bisa menjangkau kepada Mas Sarnen Sudjarwadi (sarnen@blt.co.id), Mas Anto (anto@nakertrans.go.id) hingga Mas Darmanto (lelessudarmanto@yahoo.com). Salam kenal di dunia maya.

Pada intinya, saya mendukung gagasan Mas BS. Dan saya yakin, secara alamiah para priyayi Wonogiri di mana pun, yang berkiprah dalam bidang apa pun, pasti selama ini pula telah mempromoskan Wonogiri dan sekaligus menjadi tauladan bagi warga Wonogiri di sekitarnya.

Kiprah monumental PAKARI-nya Mas Sarnen, yang mau wayangan di UI, adalah salah satu contoh. Semoga lakon “Gatutkoco Gandrung”-nya, yang berbarengan (beda 3 hari sih) dengan Hari Valentine, akan semakin membuat warga Wonogiri yang lagi belajar di UI, atau tinggal di Jakarta, kena wabah greget cinta untuk tidak lupa dalam memikirkan Wonogiri. Prakarsa PAKARI, Pemda dan UI, itu pantas diacungi jempol.

Mas Sarnen, acara wayangan di UI itu sudah saya dengar sebulan lalu dari orang “Portugal.” Ia kirim SMS tentang hal itu. Tapi “portugal” itu diartikan sebagai “lahir di purwokerto, besar di tegal.”

Dia adalah Mas Ito, alias Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, yang bilang telah berkali-kali datang ke Wonogiri untuk mempersiapkan acara wayangan itu. Di salah satu blog saya, http://esaiei.blogspot.com/2004/12/mandom-resolution-award-2004-2.html, saya telah menulis profil tentang Mas Ito yang saya kenal. Semula dari jarak jauh (dari kaset sex education) sampai jarak dekat, ketemu dan saya kena gojlok di Hotel Borobudur. Istri beliau adalah kakak kelas saya.

Kalau Mas Sarnen ketemu beliau, tolong titip salam. Katakan, apa bisa tampil sebagai bintang tamu di acara munculnya punokawan dengan memainkan lagu “Danny Boy” dengan saxophone-nya ? Mas Ito kan jago main piano dan juga main sex, eh, saxophone.

Mas Sarnen, saya harap semoga acaranya sukses. Ini impian saya : alangkah baiknya bila siangnya di sekitar Balairung UI Depok itu (“jelek-jelek saya jebolan UI tapi belum pernah menginjak balairung ini”) ada pameran tentang Wonogiri. Bisa membagikan leaflet, dodolan kaos, batu mulia, kerajinan akarwangi, promosi cabuk, pameran foto, yang dijaga oleh mahasiswa/i UI asal Wonogiri. Kayak pasar malam yang serba Wonogiri.

Mas BS, ide pasar malam adalah pula ide yang muncul di kepala saya, terkait upaya menjembatani wong-wong sukses Wonogiri (“menurut saya sih, semua WNA itu selalu sukses ; kan slogan Wonogiri juga sukses) yang tinggal di luar Wonogiri dengan anak-anak muda di Wonogiri, atau pun mereka yang di luar Wonogiri, bisa dimulai dari website yang dirintis oleh PAKARI.

Kan website itu media digital, kapasitasnya tidak terbatas, sehingga di dalamnya bisa dipajang beragam, hingga ratusan kios maya untuk melayani urusan komunikasi warga WNA, di mana pun berada di dunia. Saya sendiri, sebagai seorang epistoholik, telah mengurusi lebih dari 40-an blog di Internet. Yang tentang Wonogiri di The Morning Walker : http://wonogirinews24.blogspot.com (isinya antara lain, “ngrasani Mas Bambang Setiawan :-)”).

Jadi misalnya, di website itu akan terpajang daftar milis yang bisa dipilih oleh WNA menurut kohor (kelompok umur), minat, asal (saya sudah kesandung situs web warga Girimarto) dan rincian alamiah yang bisa mereka dirikan sendiri, bisa berlanjut atau lalu bubar, karena di Internet itu pola interaksinya memang bersifat cair dan dinamis.

Di websitenya PAKARI, diharapkan bisa dipajang daftar blog dan situs orang-orang Wonogiri sampai orang luar yang cinta Wonogiri. Untuk memperoleh gambaran bagaimana keriuhan itu diperlukan dan penting, bisa ditengok dari link ini (moga masih hidup ya ?) : http://kompas.com/kompas-cetak/0403/08/tekno/884508.htm


Untuk mengisinya, bisa ditempuh, misalnya ketika warga WNA yang ada di Jakarta, saat pertemuan di rumahnya Pak Daryatmo (4/2/2007), bisa dilakukan wawancara dengan tokoh-tokoh tertentu. Idealnya sih semua yang hadir itu bisa dijadikan berita (lha wong kolomnya tidak terbatas, sak kesele sing ngetik.) dengan ragam pertanyaan atau isu menarik. Lalu hasilnya bisa di pajang di situs kita pula. Dengan kamera digital, fotonya pun bisa dipajang dengan mudah.

Suasananya sajian di website kita itu harus seperti pasar malam, bebas tetapi sopan, di mana orang bisa berpindah-pindah ke sana kemari, menurutkan minat dan kebutuhan masing-masing, tetapi semua keriuhan itu tetap di bawah payung besar, “ini lho rumah mayanya Wong Wonogiri di dunia.”

Mas BS, Mas Sarnen, Mas Anto dan Mas Darmanto, saya yakin, Anda-Anda semua telah memberikan keteladanan kepada warga generasi muda Wonogiri. Tokoh-tokoh yang telah disebut oleh Mas BS dalam email, semuanya menjadi kebanggaan anak-anak muda Wonogiri pula.

Problemnya adalah, para tokoh-tokoh di atas itu kebanyakan masih sebagai tacit knowledge, pengetahuan yang tersembunyi, diam-diam. Untuk menceknya, bisa diriset via Google. Jadi keinginan luhur Mas BS untuk “menjual” (kan beliau orang marketing) keteladanan para WNA yang kebetulan di Jakarta, adalah, antara lain, harus dimulai dengan sikap membuka diri dari para tokoh teladan itu.

Berdasarkan kelompok umur, seperti Mas BS dan juga saya, kiranya memang sudah pada saatnya untuk membuka diri, mendongengkan sejarah hidup kepada generasi yang lebih muda, mengajak dialog dengan mereka, MENDENGARKAN mereka, dan sekali-kali TIDAK UNTUK MENGGURUI mereka.

Kalau semangat kita diawali dengan keinginan untuk menceramahi, mengkhotbahi, menggurui, pastilah mereka sudah tutup kuping dan kita ditinggalkan pergi. “Kita generasi baru, kita butuh penjelasan baru,” antara lain, kalau tak salah, bunyi lirik lagu San Francisco.

Untuk menggalang kontak komunikasi dan interaksi kita dengan generasi muda, tersedia banyak venues dan media. Idenya bisa kita gali bersama-sama di masa depan. Misalnya, bisa ngga kantor Mas Daryatmo atau Mas Gunadi dijadikan sebagai salah satu spot yang boleh dikunjungi pelajar-pelajar Wonogiri ketika mereka tur ke Jakarta ? Kan di acara itu Mas Daryatmo dan Mas Gunadi bisa sesorah, menceritakan perjuangan beliau sebagai warga Wonogiri ? Bukankah ini membanggakan, sekaligus menyemaikan embrio cita-cita pada benak pelajar bersangkutan ?


Ide-ide lain sudah berparade di kepala saya.
Tetapi, stop dululah.

Saya lebih mendukung gagasan yang lebih konkrit dari Mas BS dan Mas Sarnen, bahwa gagasan meluncurkan website PAKARI sampai meluncurkan milis, bisa kita jadikan sebagai langkah awal yang bisa kita realisasikan. Semua kerja semacam ini butuh waktu tidak sedikit, diam-diam, tidak nampak, dan tidak segera menampakkan hasil yang memuaskan. Juga tidak langsung banyak dan awet di antara yang akan bergabung. Resiko sebagai pionir. Tetapi kalau semuanya diawali dan dijalani dengan cinta, semua itu bakal menorehkan sesuatu yang bermakna.

Mas BS, Mas Sarnen, Mas Anto dan Mas Darmanto, saya yakin gagasan saya di atas sudah mekar pula pada diri-diri Anda. Semoga bermanfaat sebagai bahan obrolan awal. Terima kasih untuk persahabatan dan perkenalan Anda semua.

Salam dari Kajen, Wonogiri.
Sukses dan sejahtera selalu untuk Anda semua.

Wassalam,


Bambang Haryanto

Wonogiri Dalam Kolom Surat Pembaca

Photobucket - Video and Image Hosting

Pengantar : Sebagai seorang epistoholik, atau pencandu penulisan surat pembaca, beberapa kali kota Wonogiri menjadi subjek tulisan saya. Di bawah ini tersaji 10 judul surat pembaca saya dan isi detilnya terdapat di bagian bawah halaman ini. Selamat membaca. Anda pun kami undang pula untuk ikut membangun kota kita, antara lain juga dengan menulis surat-surat pembaca di media massa. Terima kasih. (BH).


Perpustakaan di Wonogiri
(Kompas Jawa Tengah, Rabu, 8 November 2006)

Parodi Parade Penjor
(Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 2 September 2006)

Kirab 1000 Komputer
(Kompas Jawa Tengah,Kamis, 13 April 2006)

Hutan Plastik Jadi Wajah Kota Kita
(Kompas Jawa Tengah, Senin 11 April 20)

Promosi Perguruan Tinggi Yang "Unik"
(Kompas Jawa Tengah, Jumat, 10 September 2004)

Polusi Sampah Di Wonogiri
(Kompas Jawa Tengah, Selasa, 7 September 2004)

Bonus Rokok di Tiket Olahraga
(Harian Kompas Jawa Tengah, Jumat, 20 Agustus 2004),

Nasib Perpustakaan Umum di Wonogiri
(Kompas Jawa Tengah, Senin, 16 Agustus 2004)

Kontes AFI di Perpustakaan Wonogiri
(Harian Kompas Jawa Tengah, Selasa, 13 Juli 2004)

Menggojlok Caleg Model Wonogiri
(Harian Solopos, Jumat, 4 Juni 2004)

============

Perpustakaan di Wonogiri
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah
Rabu, 8 November 2006


Sekolah masa kini bukan lagi ibarat Matahari dan para murid sebagai planet-planet yang mengelilinginya. Para guru dan orang tua juga bukan satu-satunya sumber bagi mereka untuk memperoleh pengetahuan dan kearifan. Wawasan ini menyelinap ketika menyaksikan pelajar Wonogiri pada hari pertama masuk sekolah sesudah Liburan Lebaran. Hari itu, sesudah ritus halal bihalal, jam belajar ditiadakan, dan murid-murid pun diijinkan pulang.

Sebagian dari mereka berbondong-bondong menyerbu pasar swalayan. Ada juga yang nongkrong-nongkrong di pasar. Setahu saya untuk kota sebesar Jakarta pada setiap kompleks pertokoan telah dipasang pesan yang melarang pelajar berseragam untuk keluyuran di pusat-pusat perbelanjaan tersebut. Saya tidak tahu mengapa larangan yang sama tidak diterapkan di Wonogiri.

Yang kiranya boleh saya menduga, mereka menyerbu pasar swalayan karena sebagai satu-satunya tempat yang menarik. Mereka bisa melihat barang-barang bagus, sekaligus bisa melambungkan impian untuk bisa memilikinya. Di tempat berpendingin itu impian-impian mereka memperoleh rumah yang nyaman. Celakanya, hanya impian sebagai konsumen.

Sementara impian sebagai kreator, produsen, mungkin tidak memiliki tempat untuk subur berkembang. Baik di kelas, di rumah, di ruang-ruang perpustakaan sekolah atau umum, juga tidak bergejolak di lapangan-lapangan olah raga. Mereka tidak betah di sana.

Apalagi fasilitas umum untuk mengembangkan intelektualitas, bakat seni dan bakat olahraga di kota kecil Wonogiri, nampak belum mendapat perhatian yang berwenang secara memadai. Tidak hanya menyangkut bangunan fisiknya, tetapi terutama muatan kegiatannya yang mampu menarik generasi muda.

Perpustakaan umum Wonogiri hadir dengan ruangan seadanya, lebih banyak lengang karena lokasinya dipencilkan, berada di luar lalu lintas ramai para pelajar. Wonogiri konon tinggal satu-satunya kabupaten di Jateng yang tidak memiliki mobil/perpustakaan keliling. Warung Internet satu-satu berguguran. Sementara aktivitas anak muda justru cenderung dikooptasi birokrat hanya sebagai barisan pion guna meraih prestasi-prestasi semu yang tidak ada nilai-nilai edukasinya yang tinggi.

Mungkin itulah penyebab mengapa Wonogiri masih termasuk daerah tertinggal dalam hal pembangunan sumber daya manusia. Apalagi, otak-otak terbaik asal daerah ini lebih suka berkiprah di kota lain. Bahkan tidak jarang, mereka pun malu untuk mengaku sebagai wong Wonogiri. Dari mana harus mulai untuk bisa meretas lingkaran setan seperti ini ?

Bambang Haryanto
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri
Warga Epistoholik Indonesia
==========

Parodi Parade Penjor
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah,
Sabtu, 2 September 2006

Manajer MURI, Paulus Pangka, pernah setengah mengeluh karena rekor-rekor yang diajukan ke lembaganya kebanyakan hanya bertumpu pada pencapaian prestasi yang bersifat superlatif. Rekor-rekor superlatif itu seperti X terpanjang, Y terbanyak sampai Z terbesar dan sejenisnya.
Menurutnya, rekor semacam itu seringkali tidak unik, tidak berkelas dunia, karena mudah sekali untuk dipecahkan oleh fihak lain.

Kasarnya, selama UUD (ujung-ujungnya duit) ditegakkan, maka membuat rekor atau menumbangkan rekor MURI semacam itu menjadi hal yang mudah sekali dilakukan !

Rekor-rekor kelas superlatif dan menjunjung tinggi “UUD” itulah yang kini digandrungi unsur-unsur birokrat pemerintah daerah. Mereka getol memobilisasi massa, mungkin dengan unsur setengah paksaan, terkait acara seremonial seperti HUT Kemerdekan atau Hari Jadi Pemda/Pemkot, dengan mengadakan acara-acara artifisial untuk tujuan meraih rekor MURI.

Sebuah kabupaten di Jawa Tengah pernah mengadakan acara Kirab 1000 Keris, pesertanya membeludak hingga lebih dari 2000. Tetapi konon dari cek acak tim MURI ternyata banyak peserta yang terdiri para pelajar itu membawa keris-keris palsu (birokrat sengaja mengajarkan budaya dusta atau perilaku korup pada generasi muda ?), mengakibatkan piagam MURI batal diserahterimakan. Acara artifisial yang sungguh memboroskan moral dan material !

Dalam memperingati HUT Kemerdekaan RI, jajaran birokrat kabupaten yang sama baru saja mengadakan acara pawai/parade umbul-umbul (bahasa Balinya penjor), juga dengan semangat untuk meraih Piagam MURI. Mereka memobilisasi para pelajar lagi. Adakah makna penting dari fenomena bambu-bambu berujung bengkok, berhias kain warna-warni itu, sehingga harus diparadekan oleh generasi muda kita ?

Saya teringat lelucon pengamat ekonomi Hartoyo Wignyowiyoto yang berlidah tajam dan cerdas itu. Dalam acara televisi di masa Orde Baru ia berkata bahwa budaya Indonesia dapat diibaratkan sebagai sosok penjor atau umbul-umbul itu. Karena selama ini di Indonesia, katanya, mereka yang bengkok-bengkok selalu berada di atas, selalu dihormati, juga dielu-elukan, sementara mereka yang lurus dan di bawah, justru dikubur dan selalu dibenamkan !


Bambang Haryanto
Pemegang Dua Rekor MURI
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Warga Epistoholik Indonesia
===========

Kirab 1000 Komputer
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah,
Kamis, 13 April 2006


Setelah wayang, tahun ini UNESCO menetapkan keris Indonesia sebagai maha karya dunia. Saya tidak tahu apa dengan alasan itu Pemkab Wonogiri (12/2) menyelenggakan ritus jamasan pusaka dan diikuti kirab 1.000 keris. Pelaku kirab adalah siswa SLTP/SLTA Wonogiri yang hanya berbaris pasif, tanpa seni happening, dengan masing-masing membawa sebilah keris.

Kirab itu berkesan hanya sebagai acara tempelan. Jauh dari praksis memberikan penyadaran atau edukasi. Karena sama sekali tidak ditunjang dengan kegiatan ceramah, diskusi, pemutaran film, lomba karya tulis sampai workshop pembuatan keris sebagai karya seni dan warisan budaya. Intinya, merupakan kegiatan edukatif menjauhkan generasi muda Wonogiri dari pemikiran gugon tuhon seputar keris yang kental berselimutkan aura mistis, misterius, yang disebarluaskan dari mulut ke mulut atau sinetron. Ingat kasus penipuan menyangkut jual-beli keris yang dianggap sakti dan bertuah yang menimpa seorang cerdik pandai asal Semarang.

Alangkah idealnya bila selain kirab 1.000 keris juga disertai kirab 1.000 buku favorit pelajar, sampai kirab 1000 komputer di Wonogiri. Generasi muda Wonogiri harus pula diajak untuk berorientasi ke masa depan. Kalau kirab keris hanya sebagai tempelan acara ritus jamasan pusaka yang disukai generasi-generasi tua, apalagi kental bernuansa aura mistis, generasi muda Wonogiri tidak memperoleh manfaat apa-apa.

Terutama dikaitkan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di mana menurut Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal tanggal 7 Desember 2004 tersaji data pahit : dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah ternyata Wonogiri termasuk sebagai daerah tertinggal. Ngelus-elus dan menjamas keris saja jelas tidak menyumbang perubahan apa-apa !

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612

===========


Hutan Plastik Jadi Wajah Kota Kita
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah
Senin 11 April 20


Film The Graduate (1970-an) yang dibintangi Dustin Hoffman dan Katherine Ross, menerkenalkan ucapan bahwa plastik adalah masa depan. Ramalan itu rupanya terbukti dewasa ini bila Anda agak jeli mengamati pemandangan kota-kota kita saat ini. Sobat saya E. Musyadad, seorang epistoholik dari Jombang melaporkan bahwa pohon-pohon plastik kini mewabah di Batu, Malang, Madiun dan Ponorogo. Di kota terakhir ini pohon beringinnya di alun-alun justru ditebang. Di jalan utama Sukoharjo dan Wonogiri (juga di depan rumah dinas bupati) pohon plastik itu mencolok kehadirannya.

Pohon plastik yang tidak ramah lingkungan itu telah menggantikan pohon beneran.
Bagi yang suka bertafsir-ria, warna pohon pinang plastik itu merepresentasikan warna parpol bupati dan wakil bupatinya. Di Wonogiri pohon pinang plastik itu batangnya berwarna kuning dan daunnya merah.

Rupanya para birokrat itu menilai pohon-pohon plastik ini sebagai aksesoris kota, dengan berbagai model lampu hias, akan enak dipandang jika malam hari. Namun jika siang hari sama sekali tidak ada manfaatnya bagi lingkungan kota yang mulai panas. Alangkah lebih bermanfaat bagi lingkungan hidup jika bukan pohon plastik yang tumbuh dan berdiri di tempat publik yang strategis tersebut.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72
Wonogiri 57612

===========

Promosi Perguruan Tinggi Yang “Unik”
Dimat di Harian Kompas Jawa Tengah,
Jumat, 10 September 2004


Setiap kali tahun akademi baru tiba maka pelbagai perguruan tinggi menempuh aneka cara dalam beriklan. Misalnya berpromosi lewat spanduk, baliho, iklan-iklan di media massa, selebaran, dan lain cara. Untuk beriklan lewat spanduk, kadang pada satu titik tiang pancang yang strategis, terpasang lebih dari empat spanduk perguruan tinggi. Pemandangan pun jadi riuh, ruwet, dan sangat disangsikan apakah promosi mereka sampai kepada sasaran.

Saya ingin memberi usulan untuk memperkaya jalur berpromosi yang tradisional di atas.. Yaitu, dengan mendirikan pos-pos layanan informasi yang permanen di pelbagai kabupaten. Strateginya, beberapa perguruan tinggi yang bersaing itu melakukan apa yang disebut coopetition, kerja sama sekaligus berkompetisi. Hal ini lajim dilakukan oleh pabrik-pabrik raksasa komputer.

Misalnya, ada 4 perguruan tinggi yang membidik calon mahasiswa asal Wonogiri, mereka dapat berpatungan membeli sebuah komputer. Masing-masing iuran Rp. 500 – 750 ribu, sudah dapat diperoleh komputer yang memadai. Komputer itu lalu disumbangkan ke Perpustakaan Wonogiri, fihak yang diajak kerja sama dan mendapat tugas untuk mengelola serta mengoperasikannya.

Perguruan tinggi sponsor yang bekerjasama tadi, kemudian tinggal bersaing dalam hal memasok CD-ROM ke perpustakaan tersebut dan menyelenggarakan acara penunjangnya. Dalam CD-ROM itu bisa dikemas informasi yang kaya dan mendalam tentang PT bersangkutan, termasuk kisah-kisah sukses para mahasiswa dan alumnusnya. Sokur-sokur yang berasal dari Wonogiri.

Kalau ada mahasiswanya yang berasal dari Wonogiri atau alumnusnya yang kini bertugas di Wonogiri, libatkan mereka dalam acara demo atau ceramah di perpustakaan yang dapat diagendakan sepanjang tahun. Puluhan topik dan kegiatan bisa dikreasi, baik mempromosikan minat baca, kiat menulis, ceramah kesehatan remaja, aneka lomba, dan promosi perguruan tinggi bersangkutan.

Kalau spanduk hanya berumur 1-2 minggu, pesannya pun terbatas, maka dengan adanya komputer akan dibukakan peluang-peluang baru bagi PT bersangkutan sepanjang tahun untuk mempraktekkan dharma ketiga PT, sekaligus menggalang interaksi yang edukatif dengan calon mahasiswa, mahasiswa, kalangan alumnusnya dan masyarakat luas. Selamat mencoba dan sukses untuk Anda !

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
=============

Polusi Sampah Di Wonogiri
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah,
Selasa, 7 September 2004


Kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling menelorkan teori broken windows (jendela pecah) untuk menerangkan asal muasal epidemi tindak kejahatan. Mereka berpendapat, kriminalitas merupakan akibat tak terelakkan dari ketidakteraturan. Jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan saja, siapa pun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di lingkungan tersebut tidak ada yang peduli atau bahwa rumah tersebut tidak berpenghuni.

Dalam waktu singkat, akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu. Menurutnya, di sebuah kota, awal yang remeh seperti corat-coret grafiti, ketidakteraturan, dan pemalakan, semua setara dengan jendela pecah, ajakan untuk melakukan kejahatan yang lebih serius lagi.

Teori jendela pecah itu terjadi dalam hal pembuangan sampah di Wonogiri. Walau kota ini memiliki Perda No 5/1986 yang melarang pembuangan sampah ke aliran sungai, tetapi lihatlah timbunan sampah di tebing sungai di seberang SDN Wonogiri 8, Sukorejo, Wonogiri. Sampah di area ini bakal terus menumpuk karena masyarakat juga nampak semakin hari semakin tidak merasakan bahwa perbuatannya itu sebagai suatu kesalahan. Timbunannya banyak berupa sampah plastik yang tidak bisa terurai dalam waktu puluhan tahun . Kalau sampah styrofoam, tak bakal terurai selama 500 tahun !

Siapa hirau akan ancaman polusi sampah ini ? Seperti biasanya, perilaku pemerintah dan masyarakat kita dalam menanggapi ancaman bahaya pencemaran lingkungan selalu cenderung tergerak bereaksi bila korban-korban keburu berjatuhan. Ingat nasib saudara kita di Buyat.

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612

=============

Bonus Rokok di Tiket Olahraga
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah,
Jumat, 20 Agustus 2004

Pengumuman aneh tertera di loket penjualan tiket kejuaraan bola voli yunior se-Jawa Tengah yang berlangsung di GOR Wonogiri, 7/8/2004 yang lalu. Tertulis harga tiket Rp. 3.000 dan pembeli dapat bonus sebungkus rokok. Saya batal nonton dan berpikir, bukankah pabrik rokok itu curang, melakukan dumping harga untuk mempromosikan produknya ?

Bukankah ini rekayasa bisnis tak etis, untuk produk yang berpotensi besar mengakibatkan kecanduan dan sekaligus membahayakan kesehatan ? Apalagi sasarannya anak-anak muda, di pentas yang tujuannya mempromosikan pentingnya kesehatan, yaitu ajang olahraga ?

Rokok, produk yang membahayakan kesehatan, tampil sebagai sponsor pertandingan olahraga sudah lumrah di tanah air kita. Modus serupa juga gencar dalam pertunjukan musik dan acara lain yang diperkirakan menyedot kehadiran anak-anak muda. Memang, anak-anak muda seumuran SMP-SMA kini jadi target utama produsen rokok. Sebab sekali mereka kecanduan rokok di usia rawan itu, kebiasaan buruk tersebut akan sulit hilang sampai dewasa atau meninggal di usia muda.

Peristiwa di GOR Wonogiri itu, dalam skala besar, mencerminkan pribadi bangsa kita yang terbelah. Kita adakan ajang untuk mempromosikan kesehatan, tapi sponsornya produk yang membahayakan kesehatan. Semakin banyak dibangun tempat-tempat ibadah, tetapi seperti kasus ramai di DPRD-DPRD, mereka pun tak malu berkorupsi secara berjamaah.

Kita mengaku mendukung reformasi, tapi sosok-sosok Orde Baru tetap berjaya di panggung. Gembar-gembor tak tergiur kembali terjun ke politik, tapi tetap glibat-glibet dan ngotot mengajukan RUU yang bertabiat sebaliknya. Mengaku harus netral dalam pemilu, tapi bukti VCD yang bocor ke masyarakat berkata sebaliknya pula. Itulah anomali kepribadian kita sebagai bangsa.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Situs EI : http://episto.blogspot.com

============

Nasib Perpustakaan Umum di Wonogir
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah,
Senin, 16 Agustus 2004


Kebijakan Perpustakaan Daerah Jawa Tengah yang melayani pembaca sampai jam 8 malam, patut dipuji dan harus ditularkan ke pelbagai perpustakaan umum di pelbagai kabupaten di Jawa Tengah. Layanan semacam sudah saya nikmati di tahun 1970-an di Perpustakaan Wilayah Yogyakarta, ketika saya jadi pelajar STMN II di kota gudeg ini. Seharusnya juga buka di hari Minggu, seperti halnya perpustakaan umum di DKI Jakarta (Tanah Abang) yang sering saya kunjungi di tahun 1980-an ketika menjadi mahasiswa UI.

Dengan jam buka yang panjang, maka fungsinya sebagai wahana belajar ekstra bagi mereka selepas berkutat di sekolah/kuliah dan tempat kerja, menjadi terpenuhi. Perpustakaan manfaatnya minimal bila jam bukanya persis jam kerja pegawai negeri. Ini menyulitkan pemakai seperti pelajar/mahasiswa, guru, juga karyawan. Alangkah idealnya bila perpustakaan juga digagas jadi pusat aneka kegiatan sosial dan kreatif, baik olahraga atau pun kesenian bagi generasi muda kita dan masyarakat.

Berbicara bab perpustakaan, ada anomali di Wonogiri. Perpustakaan umumnya masih sederhana. Tempatnya tidak strategis, di pinggiran selatan kota. Padahal di pusat kota, sekitar gedung kabupaten terdapat beberapa gedung menganggur yang dapat dimanfaatkan. Pemda Wonogiri sepertinya tak punya selera serius untuk memikirkannya.

Tetapi di lain fihak, lihatlah, proyek pengadaan buku untuk perpustakaan Bapeda mampu mencapai Rp. 1.074 milyar dengan realisasi mencapai Rp. 1.063 milyar. Ketua Komisi B DPRD Wonogiri, Sugiarto, dalam sidang panitia anggaran bersama Bupati (Solopos, 24/4/2004) sempat mengajukan pertanyaan sengit : “Buku apa saja yang dibeli dengan alokasi anggaran sebesar itu ?”

Kita, sebagai rakyat, tak tahu apa pastinya. Ini sangka baik : mungkin PNS di Bapeda Wonogiri itu sudah canggih-canggih sehingga memang harus ditunjang koleksi perpustakaan yang muahal-muahal dan buanyak itu. Berbahagialah mereka, dan gigit jarilah rakyat yang mendamba perpustakaan umum di Wonogiri yang lebih memadai. Sebagai bandingan, sebuah kabupaten sesama eks-Karesidenan Surakarta dengan anggaran 600 juta berencana membangun perpustakaan umum yang baru dan megah. Kapan impian serupa mampu membumi segera di Wonogiri ?

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia dan Suporter Perpustakaan Wonogiri
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Situs EI : http.://episto.blogspot.com

==============

Kontes AFI di Perpustakaan Wonogiri
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah,
Selasa, 13 Juli 2004

Mirip mekanisme kontes AFI atau Indonesian Idol, Perpustakaan Umum Wonogiri menempuh kebijakan serupa yang patut dipuji, dengan memberi kebebasan kepada anggota dan pengunjung perpustakaan mengajukan pilihan buku yang diinginkannya untuk menjadi koleksi perpustakaan. Peluang untuk memilih buku itu terbuka di bulan Juni –Juli 2004 ini !

Oleh karena itu, kepada warga Wonogiri yang haus ilmu pengetahuan demi meningkatkan kualitas diri dengan gigih belajar terus tanpa henti, saya imbau untuk memanfaatkan peluang emas ini. Sebab seperti kata sejarawan dan filsuf politik Skotlandia, Thomas Carlyle (1795-1881), the true University of these days is a collection of books atau universitas sejati masa kini adalah perpustakaan, maka biasakanlah berkunjunglah ke perpustakaan yang berada di kompleks bagian depan GOR Wonogiri ini. Termasuk kali ini, silakan ajukan data buku yang Anda inginkan agar menjadi koleksinya dan suatu saat akan Anda reguk ilmunya.

Untuk pengadaan tahun anggaran 2005 mendatang yang memperoleh penekanan untuk dikoleksi adalah buku-buku bersubjek pendidikan dan kewiraswastaan. Anda dapat mengajukan buku bersubjek penting di atas bila kebetulan Anda sudah memiliki data bibliografinya (nama pengarang, penerbit, tahun terbit dan harga). Atau silakan memeriksa pelbagai katalog penerbit yang sudah tersedia di sana untuk membantu menentukan pilihan Anda.

Sementara itu, untuk warga Wonogiri yang sudah sukses dan kini merantau, tak ada salahnya Anda kini ikut berperanserta dalam pengembangan sumber daya generasi muda Wonogiri dengan menyumbangkan buku-buku untuk perpustakaan Wonogiri. Jangan lupa, tuliskan data nama Anda di buku tersebut, sehingga kami akan selalu mampu mengenang amal dan kebaikan Anda di dalam hati kami. Siapa tahu, suatu saat nanti kami akan meneladani perbuatan bijak dan mulia Anda tersebut. Terima kasih.

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
Suporter Perpustakaan Wonogiri
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612

===========

Menggojlok Caleg Model Wonogiri
Dimuat di Harian Solopos,
Jumat, 4 Juni 2004

Seorang jenderal yang pernah menguatirkan Pemilu 2004 akan berdarah-darah, sokurlah keliru. Di daerah saya, di TPS 18, Kajen, Giripurwo, Wonogiri Kota , Pemilu berlangsung aman, tertib, bahkan suasananya jadi lebih bergairah saat penghitungan suara caleg DPD terjadi. Dimotori Mas Jito, yang KPPS dan seorang guru yang jenaka, ditimpali anggota PPS dan warga Kajen lainnya, membuat caleg-caleg DPD itu dibanjiri kado, yaitu beragam julukan. Sumber idenya dari foto-foto diri mereka yang mengundang rangsang untuk dikomentari secara cerdas dan jenaka.

Ada caleg gondrong, berpeci, dijuluki Wiro Sableng. Tapi ia tak sakti, muncul beberapa kali, lalu menghilang. Diganti tokoh Taksi Gelap, sebutan sinis untuk bekas pejabat yang sarat isu bahwa korupsinya waktu menjabat dipakai berbisnis taksi. Tokoh ini karismanya sudah jauh memudar.
Muncul kemudian tokoh yang fotonya memakai caping, memancing gojlokan sebagai Tukang Mancing. Sayang, pancingannya hanya teri saja di TPS kami. Yang mendapat suara banyak adalah tokoh kontraktor asal Semarang, yang konon royal menyumbangkan puluhan titik lampu penerangan jalan di Wonogiri dengan lampu merkuri. Ia yang pernah berkampanye di Wonogiri itu langsung dijuluki sebagai Kapten Merkuri. Ia cukup sakti, julukannya muncul berkali-kali.

Tetapi Kapten Merkuri tidak mampu mengalahkan tokoh tampan dan berkarisma, walau tak pernah berkampanye langsung di Wonogiri. Di fotonya, dia tampil beda : berbusana Jawa lengkap dan berblangkon-ria. Dia adalah Sri Paduka Mangkunegoro IX. Tak pelak kado nama gojlokan untuk beliau muncul puluhan kali di TPS kami : Blangkon, Blangkon, Blangkon, Blangkon, Blangkon...... dst.

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Situs EI : http://epsia.blogspot.com
Emial : epsia@plasa.com